Ketahuilah agama islam yang mulia ini telah mengatur segala sendi-sendi kehidupan yang baik yang berkenaan dengan urusan dunia terlebih urusan yang berkenaan dengan akhirat. Termasuk dalam urusan safar/bepergian, islam telah mengatur bagaimana seseorang melakukan perjalanan. Hendaknya bagi siapa saja yang ingin melakukan bepergian memperhatikan dan memahami serta mengamalkan hal-hal yang berkenaan safar ini, dengan tujuan dan harapan agar safar yang ia lakukan mendapatkan keberkahan dan kebaikan dari Allah subhanahu wata’ala.
Ditengah-tengah kesibukan seseorang dalam menyiapkan perbekalan yang mesti ia bawa dalam perjalanan, sebagian orang banyak dan lupa merenungi dan meniatkan serta memperhatikan hal-hal yang berkenaan dengan safar dan adab-adabnya.
1. Apa niat dan tujuan safar yang akan kita lakukan? Untuk kebaikankah atau keburukan? Jika safar yang kita lakukan dengan niat dan tujuan kebaikan, bergembiralah wahai saudaraku yang hendak bepergian dengan niat dan tujuan kebaikan. Karena Allah memberikan busyro/kabar gembira kepada seseorang yang ignin melakukan kebaikan dalam suatu hadits qudsi. Rasulullah bersabda: Allah berfirman:
إِذَا أَرَادَ عَبْدِي أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً فَلاَ تَكْتُبُوهَا عَلَيْهِ حَتَّى يَعْمَلَهَا فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا بِمِثْلِهَا وَإِنْ تَرَكَهَا مِنْ أَجْلِي فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً ، وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِئَةٍ.
Artinya:”Jika seorang hamba-Ku ingin melakukan keburukan/dosa, janganlah engaku tulis(keburukan) tersebut atasnya sehingga ia melakukannya. Apabila ia melakukannya, tulislah sesuai dengan apa yang ia lakukan. Jika ia meningalkan (keburukan) tersebut dengan sebab (kerena Aku), maka tulislah baginya satu kebaikan. Dan jika ia ingin melakukan kebaikan dan belum (sempat) melakukannya, maka tulislah baginya satu kebaikan. Jika ia melakukannya maka tulislah baginya sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat” (H.R. Al-Bukhari).
2. Kapan seseorang yang melakukan perjalanan dikatakan/disebut seorang musafir? Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat, ada sebagian mereka yang membatasi dengan jarak tertentu dan jaraknya pun berbeda-beda. Akan tetapi wallahu a’alam pada masalah ini, dikembalikan kepada ‘urf (kebiasaan). Jika seseorang melakukan bepergian dan bepergian itu menurut kebiasaan masyarakat dinamakan safar, maka ia telah melakukan safar. Pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
3. Adab-adab dalam perjalanan terlebih jika bepergian dengan tujuan haji dan umrah. Hendaknya seseorang memperhatikan adab-adab dibawah ini:
a. Hendaknya seseorang yang hendak melakukan perjalanan (haji dan umrah) merangkai dan memupuk niat dalam hati sanubari serta bertekad secara bulat dalam jiwa raganya dalam safarnya yaitu taqarrub ilallah (semata-semata mendekatkan diri kepada Allah) tanpa diiringi dengan hal-hal yang dapat merusak dan mengotori nilai-nilai ibadahnya, seperti: riya, sum’ah, ingin mendapatkan titel/gelar dalam waktu yang singkat, ingin mendapatkan kehormatan ditengah-tengah masyarakat dengan dipanggil sebagai Pak H. Fulan dan Bu Hj. Fulanah atau tujuan dunia yang lainnya. Jika masih ada benih-benih semacam ini hendaknya ia kikis habis dan hilangkan dari lubuk hatinya yang paling dalam agar ibadahnya murni dan ikhlas karena Allah dan sia-sia pula amal yang ia lakukan.
b. Disunnahkan bagi hendak bepergian “berpamitan” terlebih dahulu dengan orang tua, istri/suami, anak, sanak saudara, tetangga dan yang lain-lainnya. Hal ini bukan berarti me-legal-kan acara-acara tertentu yang diadakan ketika seseorang hendak pergi haji (yang banyak dilakukan kaum muslimin) karena hal tersebut adalah perkara yang baru dalam agama dan tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah shallahu alaihi wasallam. Akan tetapi yang dimaksud disni yaitu hanya sekedar “pamitan” dan mendoakan bagi orang yang ditinggalkan dan orang hendak bepergian. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Rasulullah bersabda (yang artinya): “Barangsiapa yang ingin bepergian, hendaknya ia mengatakan/mendoakan kepada orang yang ditinggalkannya:
أَسْتَوْدِعُكُمُ اللَّهَ الَّذِي لاَ يُضِيعُ وَدَائِعُهُ
Artinya:”Aku titipkan kamu kepada Allah yang tidak akan hilang titipan-Nya” (H.R. Ath-Thabrani).
Sedangkan doa orang yang ditinggalkan kepada orang yang hendak beprgian ialah:
أَسْتَوْدِعِ اللَّهَ دَيْنَكَ وَأَمَانَتَكَ ، وَخَوَاتِمَ عَمَلِكَ
Artinya:”Aku titpkan kepada Allah ( pemeliharaan) agamamu, amanah yang kamu emban dan akhir penutupan amalan kamu”(An-Nasa’i dalam kitab As-Sunan Al-Kubra).
c. Disunnahkan bagi yang hendak bepergian mengangkat seorang pemimpin, jika dalam safarnya lebih dari tiga orang. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Kuhdri ia berkata: Bahwa Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda:
إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِى سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
Artinya:”Jika ada tiga orang dalam safar, maka angkatlah salah satu pemimpin diantara mereka”(H.R. Abu Dawud).
Jika telah diangkat salah satu pemimpin, maka wajib bagi jamaah mengikuti apa yang diperintahkan oleh pemimpin tersebut, karena tidaklah ia memerintah dan meyuruh melainkan untuk kebaikan dan kemashalatan semua para anggaota. Kecuali jika pemimpin tersebut memerintahkan kemaksiatan dan dosa, maka tidaklah wajib bagi anggota mengikutinya karena tidak ada ketaatan kepada sesama makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Sang Khaliq (Allah Subhanahu wata’ala).
d. Memilih teman yang baik dalam melakukan perjalanan. Teman yang baik dapat mengingatkan bila kita melakukan kesalahan atau dosa dan dapat memotivasi diri kita ketika melihat kesungguhannya dalam beribadah. Sebaliknya teman yang buruk dapat menjerumuskan kita kepada kebinasaan. Rasulullah bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
Artinya:”Seseorang tergantung pada agama temannya, hendaknya salah seorang diantara kalian memeprhatikan siapa yang ditemaninya”(H.R. Abu Daud).
e. Hendaknya seseorang yang hendak bepergian memperbanyak do’a baik untuk kebaikan dunia dan akhiratnya. Karena safar merupakan waktu yang mustajab (waktu dikabukannya doa). Rasulullah bersabda:
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ يُسْتَجَابُ لَهُنَّ ، لاَ شَكَّ فِيهِنَّ : دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ ، وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ لِوَلَدِهِ
Artinya:”Ada tiga doa yang mustajab (dikabulkan) dan tidak tidak diragukan padanya: Doa seorang yang terdzolimi, doa seorang musafir dan do’a (keburukan) orang tua kepada anaknya. (H.R. Ibnu Majah).
f. Disunnahkan membaca doa-doa yang ma’tsur (dirwayatkan dari Rasulullah shallahu alaihi wasallam. Seperti doa keluar rumah, naik kendaraan doa ketika hendak pergi dan lain-lain.
g. Mengucapkan takbir (ALLAHU AKBAR) ketika melewati temapt yang tinggi dan bertasbih (SUBHANALLAH) ketika menurun.
h. Mengucapkan bismillah jika mengalami gangguan dalam perjalanan, misal: kendaraan mogok dan yang lainnya.
i. Ketika bersinggah ke suatu tempat hendaknya membaca doa berikut:
أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
Artinya:” Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk yang diciptakan-Nya”(H.R. Muslim).
j. Tidak ada shalat sunnah yang dilakukan ketika seseorang melakukan safar sebagaimana yang lakukan ketika ia mukim. Kecuali shalat witir dan shalat sunnah fajr (qabliyah subuh) karena Rasulullah shallahu alaihi wasallam tidak pernah meninggalkannya walaupun dalam keadaan safar.
k. Bagi wanita yang hendak melakukan safar mesti diiringi oleh mahram (muhrim)nya. Dan dilarang baginya bersafar tanap diiringi dengan maharam (muhrim)nya. Berdasarkan hadits dari Nabi shallahu alaihi wasallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ
Artinya:”Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir melakukan safar/perjalanan sejauh sehari semalam tidak diirngi bersama mahramnya”(H.R. Al-Bukhari).
Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda:
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُسَافِرُ مَسِيرَةَ لَيْلَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا رَجُلٌ ذُو حُرْمَةٍ مِنْهَا
Artinya:”Tidak halal bagi wanita muslimah melakukan safar/perjalanan sejauh semalam kecuali bersamanya lelaki(dari mahramnya)”.(H.R. Muslim).
Dan masih banyak adab-adab yang lainnya. Semoga bermanfaat bagi anda dan kami berharap semoga perjalanan anda mendapatkan keberkahan dan kebaikan dari Allah subhanahu wata’ala. Amien.
Senin, 4 Dzulhijjah 1432 H Unaizah Qasim KSA
Hari Febriansyah bin Sulasman bin Supardi Al-Bekasy
0 komentar:
Posting Komentar