Segala puji bagi Allah dan shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam. Alhamdulillah kita memasuki awal dari bulan Muharram, hari demi hari, pekan demi pekan, bulan demi bulan, tahun demi tahun silih beganti, sebagaimana siang dan malam silih berganti.
Sejatinya sebagai seorang hamba Allah tentu
saja kita dituntut untuk memanfaatkan umur kita dalam rangka beribadah
kepada-Nya di segala bulan yang ada, akan tetapi syariat Islam juga mengajarkan
kepada kita bahwa ada beberapa bulan yang memiliki keutamaan, karakteristik dan
ibadah tertentu yang dianjurkan padanya. Atas dasar itulah Al Imam Ibnu Rajab
Al Hanbali rahimahulloh menyusun kitabnya yang berjudul “Lathoif Al Ma’aarif
Fiimaa Limawaasimil ‘Aam minal Wazhoif”, kitab beliau ini merinci keutamaan
beberapa bulan yang ada beserta amalan-amalan sholeh yang dianjurkan padanya.
Bagaimana dengan bulan Muharram, apa saja
keutamaannya dan ibadah apa yang dianjurkan padanya? Semoga tulisan yang
ringkas dan sederhana ini bisa memberikan pencerahan bagi anda, wahai para
pecinta sunnah Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam.
Penamaan Bulan Ini
Kata Muharram secara bahasa, berarti
diharamkan. Abu ‘Amr ibn Al ‘Alaa berkata, “Dinamakan bulan Muharram karena
peperangan(jihad) diharamkan pada bulan tersebut” (Tarikh Ad Dimasyq 1/51);
jika saja jihad yang disyariatkan lalu hukumnya menjadi terlarang pada bulan
tersebut maka hal ini bermakna perbuatan-perbuatan yang secara asal telah
dilarang oleh Allah Ta’ala memiliki penekanan pengharaman untuk lebih dihindari
secara khusus pada bulan ini.
Beberapa Keutamaan Bulan Muharram
a. Bulan Muharram Merupakan Salah Satu Diantara Bulan-Bulan Haram
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ
اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ
مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
"Sesungguhnya bilangan
bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan)
agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang
empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun
memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang
yang bertakwa." (Q.S. at Taubah :36).
Salah seorang ahli tafsir dari kalangan
tabi’in yang bernama Qatadah bin Di’amah Sadusi rahimahulloh menyatakan, “Amal
sholeh lebih besar pahalanya jika dikerjakan di bulan-bulan haram sebagaimana
kezholiman di bulan-bulan haram lebih besar dosanya dibandingkan dengan
kezholiman yang dikerjakan di bulan-bulan lain meskipun secara umum kezholiman
adalah dosa yang besar” (lihat Tafsir Al Baghawi dan Tafsir Ibn Katsir)
Dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat
Abu Bakrah radhiyallohu anhu, Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam
menjelaskan keempat bulan haram yang dimaksud
:
إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ
يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا
أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ
وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Sesungguhnya zaman itu berputar
sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi.
Setahun itu ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati
: 3 bulan berturut-turut; Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram serta satu bulan
yang terpisah yaitu Rajab Mudhar, yang terdapat diantara bulan Jumada Akhiroh
dan Sya’ban.” [ HR. Bukhari (3197) dan Muslim(1679)
]
Para ulama bersepakat bahwa keempat bulan
haram tersebut memiliki keutamaan dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain
selain Ramadhan, namun demikian mereka berbeda pendapat, bulan apakah yang
paling afdhal diantara keempat bulan haram yang ada ? Imam Hasan Al Bashri
rahimahulloh dan beberapa ulama lainnya berkata, “Sesungguhnya Allah telah
memulai waktu yang setahun dengan bulan haram (Muharram) lalu menutupnya juga
dengan bulan haram (Dzulhijjah) dan tidak ada bulan dalam setahun setelah bulan
Ramadhan yang lebih agung di sisi Allah melebihi bulan Muharram” (Lihat :
Lathoif Al Ma’arif hal 36)
b. Bulan Muharram disifatkan sebagai Bulan Allah
Kedua belas bulan yang ada adalah makhluk
ciptaan Allah, akan tetapi bulan Muharram meraih keistimewaan khusus karena
hanya bulan inilah yang disebut sebagai “syahrullah” (Bulan Allah)
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda
:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ
اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama
setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah (yaitu) Muharram. Sedangkan shalat
yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam”. [ H.R. Muslim
(11630) dari sahabat Abu Hurairah radhiyallohu anhu]
Hadits ini mengindikasikan adanya keutamaan
khusus yang dimiliki bulan Muharram karena disandarkan kepada lafzhul Jalalah
(lafazh Allah). Para Ulama telah menerangkan bahwa ketika suatu makhluk
disandarkan pada lafzhul Jalalah maka itu mengindikasikasikan tasyrif
(pemuliaan) terhadap makhluk tersebut, sebagaimana istilah baitullah (rumah
Allah) bagi mesjid atau lebih khusus Ka’bah dan naqatullah (unta Allah) istilah
bagi unta nabi Sholeh ‘alaihis salam dan lain sebagainya.
Al Hafizh Abul Fadhl Al ‘Iraqy rahimahulloh
menjelaskan, “Apa hikmah dari penamaan Muharram sebagai syahrulloh (bulan
Allah) sementara seluruh bulan milik Allah ? Mungkin dijawab bahwa hal itu
dikarenakan bulan Muharram termasuk diantara bulan-bulan haram yang Allah
haramkan padanya berperang, disamping itu bulan Muharram adalah bulan perdana
dalam setahun maka disandarkan padanya lafzhul Jalalah (lafazh Allah) sebagai
bentuk pengkhususan baginya dan tidak ada bulan lain yang Nabi Muhammad
shallallohu alaihi wasallam sandarkan kepadanya lafzhul Jalalah melainkan bulan
Muharram” (lihat Hasyiah As Suyuthi ‘ala Sunan An Nasaai)
Amalan Yang Dianjurkan di Bulan Muharram
Sebagaimana telah disebutkan di atas dari
perkataan Qatadah rahimahulloh bahwa amalan sholeh dilipatgandakan pahalanya di
bulan-bulan haram, dengan demikian secara umum segala jenis kebaikan dianjurkan
untuk diperbanyak dan ditingkatkan kualitasnya di bulan Muharram. Adapun ibadah
yang dianjurkan secara khusus pada bulan ini adalah memperbanyak puasa sunnah
sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah radhiyallohu ‘anhu, beliau berkata Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ
اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama setelah
Ramadhan adalah puasa di bulan Allah (yaitu) Muharram dan shalat yang paling
utama setelah puasa wajib adalah sholat lail” [ HR. Muslim(11630)
]
Kemudian anjuran berpuasa di bulan Muharram
ini lebih dikhususkan dan ditekankan hukumnya pada hari yang dikenal dengan
istilah Yaumul 'Asyuro, yaitu pada tanggal sepuluh bulan ini. ‘Asyuro berasal
dari kata ‘Asyarah yang berarti sepuluh. Pada hari ‘Asyuro ini, Rasulullah
shallahu alaihi wasallam mengajarkan kepada umatnya untuk melaksanakan satu
bentuk ibadah dan ketundukan kepada Allah Ta’ala yaitu ibadah puasa, yang kita
kenal dengan puasa Asyuro.
Hadits-Hadits Disyariatkannya Puasa ‘Asyuro
Adapun hadis-hadis yang menjadi dasar
ibadah puasa tersebut banyak, kami akan sebutkan diantaranya dengan
pengklasifikasian sebagai berikut:
1. Kaum Yahudi juga berpuasa
di hari Asyuro bahkan menjadikannya sebagai Ied (hari raya)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ
تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا
يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ
فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma berkata : Ketika Rasulullah shallallohu
alaihi wasallam. tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa
pada hari ‘ Asyura, maka Beliau bertanya : "Hari apa ini?. Mereka
menjawab, “Ini adalah hari istimewa, karena pada hari ini Allah menyelamatkan
Bani Israil dari musuhnya, Karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari ini.
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun bersabda, "Aku lebih berhak
terhadap Musa daripada kalian“
Maka beliau berpuasa dan memerintahkan
shahabatnya untuk berpuasa. [ H.R. Bukhari (1865) dan Muslim(1910)
]
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوهُ أَنْتُمْ
Dari Abu Musa radhiyallohu anhu berkata, “Hari ‘Asyuro adalah hari yang
diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya, maka
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda (kepada ummatnya), “Berpuasalah
kalian (pada hari itu)” [HR. Bukhari (1866) dan Muslim(1912), lafal hadits ini
menurut periwayatan imam Muslim)
2. Kaum Quraiys di zaman
Jahiliyah juga berpuasa Asyuro dan puasa ini diwajibkan atas kaum muslimin
sebelum kewajiban puasa Ramadhan
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
قَالَتْ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ
صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ
فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ . متفق عليه.
Dari Aisyah radhiyallohu anha berkata, Kaum Qurays pada masa Jahiliyyah
juga berpuasa di hari ‘Asyuro dan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam juga
berpuasa pada hari itu, ketika beliau telah tiba di Medinah maka beliau tetap
mengerjakannya dan memerintahkan ummatnya untuk berpuasa. Setelah puasa
Ramadhan telah diwajibkan beliau pun meninggalkan (kewajiban) puasa ‘Asyuro,
seraya bersabda, “Barangsiapa yang ingin berpuasa maka silakan tetap berpuasa
dan barangsiapa yang tidak ingin berpuasa maka tidak mengapa” [ HR. Bukhari
(1863) dan Muslim(1897) ]
عن عَبْد
اللَّهِ بْن عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا
يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
صَامَهُ وَالْمُسْلِمُونَ قَبْلَ أَنْ يُفْتَرَضَ رَمَضَانُ فَلَمَّا افْتُرِضَ رَمَضَانُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ عَاشُورَاءَ يَوْمٌ
مِنْ أَيَّامِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ (رواه مسلم)
Dari Abdullah bin Umar radhiyallohu anhuma bahwa kaum Jahiliyah dulu
berpuasa Asyuro dan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam serta kaum muslimin
juga berpuasa sebelum diwajibkan puasa Ramadhan, Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam bersabda, “Sesungguhnya hari ‘Asyuro termasuk hari-hari Allah,
barangsiapa ingin maka berpuasalah dan siapa yang ingin meninggalkan maka
boleh” [ HR. Muslim(1901) ]
3. Perhatian
Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam dan para sahabat ridwanullohi alaihim
ajmain yang begitu besar terhadap puasa ‘Asyuro
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا
الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ
"Aku tidak pernah melihat
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, berupaya keras untuk puasa pada suatu
hari melebihi yang lainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari ‘Asyura dan bulan
ini yaitu Ramadhan.” [ H.R. Bukhari (1867) dan Muslim(1914)
]
عَنْ
الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ قَالَتْ أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الْأَنْصَارِ الَّتِي
حَوْلَ الْمَدِينَةِ مَنْ كَانَ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ وَمَنْ كَانَ
أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ فَكُنَّا بَعْدَ ذَلِكَ نَصُومُهُ
وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا الصِّغَارَ مِنْهُمْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ وَنَذْهَبُ إِلَى
الْمَسْجِدِ فَنَجْعَلُ لَهُمْ اللُّعْبَةَ مِنْ الْعِهْنِ فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ
عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهَا إِيَّاهُ عِنْدَ الْإِفْطَارِ
Dari Rubai’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afra’
radhiyallohu ‘anha berkata, Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam di pagi
hari Asyuro mengutus ke perkampungan kaum Anshar yang berada di sekitar Medinah
(pesan), “Barangsiapa yang tidak berpuasa hari itu hendaknya menyempurnakan
sisa waktu di hari itu dengan berpuasa dan barangsiapa yang berpuasa maka
hendaknya melanjutkan puasanya”. Rubai’ berkata, “Maka sejak itu kami berpuasa
pada hari ‘Asyuro dan menyuruh anak-anak kami berpuasa dan kami buatkan untuk
mereka permainan yang terbuat dari kapas lalu jika salah seorang dari mereka
menangis karena ingin makan maka kami berikan kepadanya permainan tersebut
hingga masuk waktu berbuka puasa” [ HR. Bukhari (1960) dan Muslim (1136),
redaksi hadits ini menurut periwayatan Imam Muslim
]
4. Keutamaan
puasa Asyuro
عَنْ
أَبِي قَتَادَةَ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ
السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
Dari Abu Qatadah radhiyallohu anhu bahwa Nabi Muhammad shallallohu
alaihi wasallam bersabda, “Puasa hari ‘Asyuro aku berharap kepada Allah akan
menghapuskan dosa tahun lalu” [ HR. Tirmidzi (753), Ibnu Majah (1738) dan Ahmad(22024).
Hadits semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shohih
beliau (1162) ]
5. Bagi yang
ingin berpuasa ‘Asyuro hendaknya berpuasa juga sehari sebelumnya
Ibnu Abbas radhiyallohu ‘anhuma berkata
:
Ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam
berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan kaum muslimin berpuasa, mereka
(para shahabat) menyampaikan, "Ya Rasulullah ini adalah hari yang
diagungkan Yahudi dan Nasrani". Maka Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam pun bersabda:
فَإِذَا
كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ
فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Jika tahun depan insya
Allah (kita bertemu kembali dengan bulan Muharram), kita akan berpuasa juga
pada hari kesembilan (tanggal sembilan).“
Akan tetapi belum tiba Muharram tahun depan
hingga Rasulullah shallallohu alaihi wasallam wafat di tahun tersebut [ HR.
Muslim (1134) ]
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ صُومُوا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ
Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma beliau
berkata, “Berpuasalah pada tanggal sembilan dan sepuluh Muharram, berbedalah
dengan orang Yahudi”
[ Diriwayatkan
dengan sanad yang shohih oleh Baihaqi di As Sunan Al Kubro (8665) dan Ath
Thobari di Tahdzib Al Aatsaar(1110)]
6. Hukum Berpuasa Sehari
Sesudah ‘Asyuro (tanggal 11 Muharram)
Imam Ibnu Qoyyim dalam kitab Zaadul Ma’aad
setelah merinci dan menjelaskan riwayat-riwayat seputar puasa ‘Asyuro, beliau
menyimpulkan ada tiga tingkatan berpuasa ‘Asyuro:
Urutan pertama; dan ini yang paling sempurna
adalah puasa tiga hari, yaitu puasa tanggal sepuluh ditambah sehari sebelum dan
sesudahnya (9,10,11). Urutan kedua; puasa tanggal 9 dan 10. Inilah yang
disebutkan dalam banyak hadits .
Urutan ketiga, puasa tanggal 10 saja. (Zaadul
Ma’aad 2/63)
Kesimpulan Ibnul Qayyim di atas didasari dengan sebuah hadits dari Ibnu
Abbas radhiyallohu anhuma, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. bersabda :
صُومُوا
يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ
يَوْمًا
"Puasalah pada hari
Asyuro, dan berbedalah dengan Yahudi dalam masalah ini, berpuasalah sehari
sebelumnya atau sehari sesudahnya.“ [HR. Imam Ahmad(2047), Ibnu Khuzaimah(2095)
dan Baihaqi (8667)]
Namun hadits ini sanadnya lemah, Asy Syaikh
Al Albani rahimahulloh menyatakan, “Hadits ini sanadnya lemah karena salah
seorang perowinya yang bernama Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila jelek
hafalannya, selain itu riwayatnya menyelisihi riwayat ‘Atho bin Abi Rabah dan
selainnya yang juga meriwayatkan dengan sanad yang shohih bahwa ini adalah
perkataan Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma sebagaimana yang disebutkan oleh
Thahawi dan Baihaqi [Ta’liq Shohih Ibn Khuzaimah (3/290)]
Namun demikian puasa sebanyak tiga hari
(9,10,dan 11 Muharram) dikuatkan oleh para ulama dengan dua alasan :
Sebagai kehati-hatian, yaitu
kemungkinan penetapan awal bulannya tidak tepat,maka puasa tanggal sebelasnya
akan dapat memastikan bahwa seseorang mendapatkan puasa Tasu’a (tanggal 9) dan
Asyuro (tanggal 10)
Dimasukkan dalam puasa tiga hari
pertengahan bulan (Ayyamul bidh).
Adapun puasa tanggal 9 dan 10,
pensyariatannya dinyatakan dalam hadis yang shahih, dimana Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam pada akhir hidup beliau sudah merencanakan untuk
puasa pada tanggal 9, hanya saja beliau wafat sebelum melaksanakannya. Beliau
juga telah memerintahkan para shahabat untuk berpuasa pada tanggal 9 dan
tanggal 10 agar berbeda dengan ibadah orang-orang Yahudi.
Sedangkan puasa pada tanggal sepuluh saja;
sebagian ulama memakruhkannya, meskipun sebagian ulama yang lain memandang
tidak mengapa jika hanya berpuasa ‘Asyuro (tanggal 10) saja,wallohu a’lam.
Secara umum, hadits-hadis yang terkait dengan
puasa Muharram menunjukkan anjuran Rasulullah shallallohu alaihi wasallam untuk
melakukan puasa,sekalipun hukumnya tidak wajib tetapi sunnah muakkadah(sangat
dianjurkan), dan tentunya kita sepatutnya berusaha untuk menghidupkan sunnah
yang telah banyak dilalaikan oleh kaum muslimin.
Beberapa Pelanggaran dan Bid’ah Yang Sering Terjadi di Bulan Muharram
1. Pada awal
Muharram, yang kadang dikenal dengan istilah 1 Suro, di tanah air sering
diadakan acara ritual dan adat yang beraneka macam bahkan tidak jarang mengarah
bahkan telah terjatuh pada kesyirikan, seperti meminta berkah pada benda-benda
yang dianggap keramat dan sakti, membuang sesajian ke laut agar Sang Dewi
penjaga laut tidak marah dan lain sebagainya. Sebagian lagi dari kaum muslimin
menjadikan bulan Muharram sebagai bulan yang keramat dan sakral, sehingga
menurut keyakinan mereka tidak boleh mengadakan hajatan besar di bulan tersebut
seperti pernikahan, membangun rumah dan lain-lain. Di sisi lain ada juga di
kalangan kaum muslimin menjadikan hari ‘Asyuro seperti layaknya hari lebaran, dimana
mereka memperbanyak belanja dapur pada hari tersebut seakan-akan mengadakan
pesta atau berhari raya. Sehingga di hari itu dikenal berbagai macam model
makanan yang dinamakan secara khusus dengan ‘Asyuro seperti bubur ‘Asyuro.
Perbuatan mereka ini didasari hadits yang diriwayatkan:
مَنْ
وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ في يَوْمِ عَاشُورَاءَ وَسَّعَ الله عَلَيْهِ في سَنَتِهِ
كُلِّهَا
“Barangsiapa yang melapangkan (nafkah)
kepada keluarganya pada hari ‘Asyura, niscaya Allah akan melapangkan (rizkinya)
selama setahun itu” [ HR. Thobrani(10007) dan Baihaqi di kitab Syu’abul Iman
(3792) ]
Hadits ini telah dilemahkan oleh banyak ulama
hadits, bahkan ada yang menghukuminya sebagai hadits palsu. Imam Ahmad
mengatakan bahwa hadits ini tidak memiliki asal, silakan lihat kitab Al
Maudhu’at oleh ibnul Jauzi, Ahadits Al Qushshash oleh Ibnu Taimiyah dan Al
Fawaid Al Majmu’ah oleh Syaukani
Hal-hal yang telah disebutkan di atas dari
kemungkaran-kemungkaran yang biasda terjadi di bulan Muharram harus dihindari
oleh setiap muslim dimanapun mereka berada karena Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam telah mengajarkan pada kita agar memiliki jati diri sebagai seorang
Muslim dalam kehidupan. Jangan sampai seorang muslim mudah terbawa oleh budaya
atau ritual agama lain dalam menjalankan ibadah pada Allah ‘Azza wa Jalla.
Ajaran yang dibawa Rasulullah shallallohu alaihi wasallam telah jelas dan
sempurna tidak layak bagi kita untuk menambah atau menguranginya.
Karena sebaik-baik pedoman adalah kitabullah
dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk beliau, yang tidak ada keselamatan
kecuali dengan berpegang kepada keduanya dengan mengikuti pemahaman para
sahabat, tabi'in dan penerus mereka yang setia berpegang kepada sunnahnya dan
meniti jalannya, adapun hal-hal baru dalam masalah agama adalah sesat sedangkan
kesesatan itu akan menghantarkan ke neraka, wal'iyadzubillah.
2. Pada
tanggal 10 Muharram 61 H, terjadilah tragedi berdarah yang memilukan dalam
sejarah Islam, yaitu terbunuhnya Husein radhiyallohu anhu cucu Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam di sebuah tempat yang bernama Karbala. Peristiwa
ini kemudian dikenal dengan “Peristiwa Karbala”. Pembunuhan tersebut dilakukan
oleh pendukung Khalifah yang sedang berkuasa pada saat itu yaitu Yazid bin
Mu’awiyah, meskipun sebenarnya Khalifah sendiri saat itu tidak menghendaki
pembunuhan tersebut.
Karena peristiwa berdarah ini maka kaum
Syi’ah yang mengklaim diri mereka sebagai pengikut ahlul bait menjadikan
‘Asyura sebagai hari berkabung, duka cita dan menyiksa diri sebagai ungkapan
dari kesedihan dan penyesalan. Pada setiap ‘Asyura kaum Syi’ah di seluruh dunia
termasuk di negeri kita memperingati kematian Husein radhiyallohu ‘anhu dengan
melakukan perbuatan-perbuatan tercela seperti berkumpul, menangis, meratapi
Husein secara secara histeris, memukuli tubuh dan wajah mereka, bahkan ada yang
sampai tega melukai diri dan anak-anak kecil dengan senjata tajam pada hari
tersebut.
Peristiwa wafatnya Husain radhiyallohu anhu memang sangat tragis dan
memilukan bagi siapa saja yang mengenang atau membaca kisahnya, dan kita tentu
mencintai keluarga Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, apalagi terhadap
orang yang sangat dicintai oleh Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. Namun
musibah apapun yang terjadi dan betapapun kita sangat , hal itu jangan sampai
membawa kita larut dalam kesedihan dan melakukan kegiatan-kegiatan sebagai
bentuk duka dengan yang memukul-mukul diri, menangis apalagi sampai mencela
shahabat Rasulullah yang tidak termasuk Ahli Bait (keluarga dan keturunan
beliau). Yang mana hal ini biasa dilakukan suatu kelompok Syi'ah yang mengaku
memiliki kecintaan yang sangat tinggi terhadap Ahli Bait (Keluarga Rasulullah),
pdahal kenyataanya tidak demikian. Meratapi musibah kematian diharamkan,
siapapun yang meninggal dunia bahkan kepada Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam pun kita dilarang memperingati dan meratapi wafat beliau. Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam bersabda,
أَرْبَعٌ
فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لَا يَتْرُكُونَهُنَّ الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ
وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ وَالنِّيَاحَةُ وَقَالَ
النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا
سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
“Ada empat perkara yang
terdapat pada ummatku termasuk, termasuk perbuatan kaum Jahiliyyah yang belum
mereka tinggalkan: Menyombongkan kebangsawanan, mencela nasab, meminta hujan
dengan bintang-bintang dan meratap”. Beliau berkata, “Orang yang meratapi
kematian jika dia belum taubat sebelum meninggal dunia maka akan dibangkitkan
pada hari kiamat dengan berpakaian hitam yang terbuat dari ter dan baju besi
yang berkudis” (HR. Muslim(1550) dari sahabat Abu Malik Al Asy’ari radhiyallohu
anhu)
Khatimah
Inilah pembahan ringkas dan sederhana berkaitan dengan bulan suci nan
agung Muharram, semoga kita selalu diberi taufiq dan dibimbing oleh Allah
subhanahu wata’ala ke jalan-Nya yang lurus serta mendapatkan keridhaan dan
ampunan-Nya, dan dimudahkan dalam menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam di segala tempat dan di sepanjang waktu serta
dijauhkan dari segala bid’ah dan hal-hal yang bertentangan dengan syariat yang
suci ini, amin ya rabbal 'alamin.
Wallohu Waliyyut Taufiq.
0 komentar:
Posting Komentar